
Alkisah,
para filsuf, ahli ilmu mantiq, dan
ahli hukum berkumpul di istana.
Mereka bergabung untuk
menginterogasi Nasruddin.
Perkara Nasruddin telah
dianggap sebagai sebuah kasus
yang amat serius.
Persoalannya adalah; Nasruddin
seringkali datang ke berbagai
tempat meneriakkan satu
khotbah yang sama. Dalam
khotbahnya itu, ia menyebut
orang-orang berilmu, seperti
para filusuf, sebagai mereka
yang bodoh, kebingungan, dan
tak bisa mengambil keputusan.
Tentu saja, ceramah Nasruddin
ini dianggap subversif dan
mengganggu ketertiban negara.
Singkat cerita, mereka yang
merasa tersinggung meminta
Raja untuk mengadili Nasruddin.
Digelarlah sebuah pengadilan
dengan Nasruddin sebagai
terdakwa tunggal. “Hai
Nasruddin,” ucap Raja, “kau
mendapat giliran untuk bicara
terlebih dahulu.”
Nasruddin lalu meminta agar
dibawakan beberapa lembar
kertas dan pena. Setelah itu ia
berkata, “Tolong bagikan kepada
para pakar yang ada di ruangan
ini, masing-masing secarik
kertas dan sebilah pena.”
Setelah setiap orang pakar
mendapatkan kertas dan pena,
Nasruddin berkata lagi, “Aku
mohon kepada setiap ahli untuk
menuliskan di atas kertas itu
jawaban untuk pertanyaan ini;
Apa yang disebut dengan roti?”
Setiap cerdik cendekia yang ada
di tempat itu lalu menuliskan
apa yang mereka ketahui
tentang roti. Jawaban para
pakar itu lalu dikumpulkan dan
diserahkan kepada Raja. Raja
pun membacanya satu demi
satu.
Orang bijak pertama menulis,
“Roti adalah sebuah makanan.”
Si bijak kedua menjawab, “Roti
adalah tepung bercampur
dengan air.” Si bijak ketiga
menulis, “Roti adalah karunia
Tuhan.” Si bijak selanjutnya
menjawab, “Roti adalah terigu
yang telah dimasak.” Orang
berikutnya menulis,
“Roti merupakan makanan
bergizi.” Dan demikian
seterusnya. Setiap orang yang
terkenal pandai itu, menulis
jawaban yang berbeda-beda,
masing-masing bergantung
pada pemaknaan mereka akan
sebuah roti. Salah seorang dari
mereka bahkan menulis, “Tak
ada seorang pun yang tahu
sebenarnya apa yang dimaksud
dengan roti.”
Setelah mendengar semua
jawaban itu, Nasruddin berkata
kepada sang Raja, “Ketika
mereka dapat menentukan apa
yang disebut sebagai roti,
barulah mereka bisa
menentukan hal-hal selain roti.
Misalnya, menentukan apakah
khotbahku benar atau tidak.”
Ia melanjutkan, “Dapatkah
Baginda mempercayakan urusan
penilaian atau keputusan
kepada orang-orang seperti ini?
Bukankah amat aneh bila
mereka tidak sepakat akan
sesuatu yang mereka makan
setiap hari, tetapi mereka
sepakat untuk menentukan
bahwa aku seorang ahli bid’ah?”
masih 0 komentar untuk makan roti
Posting Komentar
Tinggalkan komentar'y ea..mksie.